Wednesday, May 5, 2010

Forgive & Forget

Memaafkan adalah salah satu sifat mulia yang dianjurkan Al Qur’an (Asy Syura : 43) bahkan menjadi salah satu ciri orang beriman ( Ali Imran : 134). Namun benar – benar membebaskan diri dari rasa benci, marah dan dendam tidaklah mudah. Sikap pemaaf adalah suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas. Dalam konteks bahasa, memaafkan berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati.

Memaafkan Orang Lain

Tidak mudah memang menyembuhkan luka batin atau perasaan dan melupakan orang yang sudah menyakiti perasaan kita, apalagi jika kita direndahkan di depan umum. Rasa kesal dan kecewa yang begitu menghujam di hati hanya akan menjadi beban yang takkan berbuah kebaikan, malah bisa jadi penyakit. Sebenarnya ketika kita menyadari tak ada manusia yang sempurna dan terlepas dari kesalahan maka tak ada alasan bagi kita untuk tidak memaafkan. Bahkan ketika orang yang berbuat salah kepada kita tidak berubah dari kejahiliyahannya, juga tidak dapat menjadi alasan untuk belum memaafkannya. Tugas kita sekedar mengingatkan bukan memberi hidayah, jangan sampai kejahiliyahan justru tertular ke kita.

Dari Uqbah bin Amir, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, ”Wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzhalimimu” (HR Ahmad, al-Hakim dan al-Baghawy). Perhatikan kisah Nabi Yusuf yang memaafkan saudaranya yang telah mencoba untuk membunuhnya. Atau Rasulullah SAW yang memaafkan orang yang meludahi dan melempari beliau dengan kotoran. Atau ketika seruan kebaikan beliau dibalas dengan lemparan batu penduduk Thaif sehingga Jibrilpun geram dan hendak menimpakan gunung atas mereka, namun Rasulullah memaafkannya.

Belajar dari kisah diatas, jika kezhaliman yang kita rasakan belum seberapa rasanya tak layak bagi kita untuk tidak memaafkan. Dan bagaimana mungkin kita yang sering berbuat dosa tidak dapat memaafkan orang lain sementara Allah terus memaafkan dosa kita dengan tidak begitu saja mencabut nikmat-Nya. Pemahaman inilah yang kemudian menyadarkan seorang Abu Bakar untuk memaafkan dan tidak melaksanakan sumpah untuk tidak memberi apa-apa kepada kerabatnya yang terlibat dalam menyiarkan berita dusta tentang Aisyah (QS.An Nur : 22). Sedemikian mulianya sikap memaafkan, tak heran dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ada seseorang yang oleh Rasulullah disebut sebagai calon ahli syurga, dan ketika salah seorang shahabat menyelidikinya ternyata amal istimewanya adalah selalu memaafkan, berlapang dada dan tidak menyimpan sedikitpun kedengkian terhadap saudaranya.

Wallahu a’lam bi shawwab

Edited from: udiutomo.blog.friendster.com/2008/09

"It’s because if we learn to forgive and forget, we let go and let lose of our deep-seated hurt and pain we feel lighter. When we forgive and forget, we don’t hold on to our resentment, bitterness and grudges. Health-wise, you lessen stress, lower your heart rate, there’s less hostilities, you lower your blood pressure and many others. We cannot control what happens to us, but we can control how it affects us"

No comments:

Post a Comment